05
Mar

Matematika dan Islam: Dua Hal yang Tak Terpisahkan

Islam adalah agama yang mengatur dengan jelas segala aturan, tata cara, hukum-hukum, dan permasalahan kehidupan manusia. Aturan-aturan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti tata cara berpakaian, hukum waris, permasalahan utang-piutang, pernikahan, dan banyak lagi. Beberapa di antaranya bahkan melibatkan perhitungan matematika. Matematika, sebagai ilmu pasti, merupakan dasar dari berbagai ilmu lainnya, sehingga tak heran jika matematika memiliki hubungan erat dengan ilmu-ilmu lainnya.

Salah satu contoh aturan dalam Islam yang melibatkan matematika adalah hukum waris. Dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat 11, Allah berfirman yang artinya:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa: 11)

Dalam ayat ini, kita dapat melihat bahwa pembagian warisan dalam Islam sangat bergantung pada perhitungan matematika. Sebagai contoh, jika pewaris memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka harta warisan yang diterima oleh anak laki-laki harus dua kali lebih banyak daripada anak perempuan, atau dengan kata lain, perbandingannya adalah 1:2. Sementara itu, jika pewaris memiliki lebih dari dua anak perempuan, maka mereka berhak menerima dua pertiga dari total harta yang ditinggalkan.

Pembagian warisan ini jelas membutuhkan perhitungan matematika, terutama dalam hal perbandingan, pembagian, dan perkalian, untuk memastikan setiap pihak menerima bagian yang sesuai dengan ketentuan yang ada.

Selain perhitungan perbandingan, Al-Qur’an juga membahas konsep penjumlahan dan pengurangan. Contohnya terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 25 dan surat Al-Ankabut ayat 14. Berikut adalah terjemahan dari masing-masing surat:

“Dan mereka (pemuda-pemuda) tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun, dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ankabut: 14)

Berdasarkan perhitungan matematika, pemuda-pemuda tersebut tinggal di dalam gua selama tiga ratus sembilan (309) tahun, yang merupakan hasil dari penjumlahan 300 tahun ditambah 9 tahun. Sedangkan Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya selama sembilan ratus lima puluh (950) tahun, yang diperoleh melalui pengurangan 1000 tahun dikurangi 50 tahun.

Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga mencerminkan penerapan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan betapa agama Islam dan ilmu pengetahuan dapat saling beriringan.

Author : Ustadzah Siti Zubaidah Purwaning Arum, S. Pd (Waka Kurikulum SMP Islam Cendekia Sooko)